Tulisan ini sebetulnya saya buat untuk diterbitkan sebuah tabloid pendidikan lokal Ngawi dan sekitarnya beberapa bulan yang lalu.. Namun karena sok menyibukkan diri disana-sini, akhirnya belum saya terbitkan sampai sekarang.... Data saya comot dari beberapa sumber. Mohon masukan anda demi kesempurnaanya .. Jazakallah.
Beberapa hari kemarin
kita dikejutkan dengan berita tertangkapnya seorang dokter spesialis kandungan
senior disalah satu kota besar di Jawa Timur yang sudah sering kali melakukan
praktek aborsi. Kegiatannya terbongkar aparat kepolisian setelah salah satu
pasiennya meninggal dunia.
Menjadi remaja berarti menjalani proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan kecemasan. Lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ-organ reproduksi adalah salah satu masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual yang menguat tak bisa tidak dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang lain. Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.
Di Indonesia saat ini 62 juta remaja sedang bertumbuh
di Tanah Air. Artinya, satu dari lima orang Indonesia berada dalam rentang usia
remaja. Mereka adalah calon generasi penerus bangsa dan akan menjadi orangtua
bagi generasi berikutnya. Tentunya, dapat dibayangkan, betapa besar pengaruh segala
tindakan yang mereka lakukan saat ini kelak di kemudian hari tatkala menjadi
dewasa dan lebih jauh lagi bagi bangsa di masa depan.
Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri
yang mengalami perubahan fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru
berupaya keras menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja
dengan berjuta tanda tanya yang lalu lalang di kepala mereka.
Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian
lama tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksi
dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka justru merasa paling tak
nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri!
Tak tersedianya informasi yang akurat dan
"benar" tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja bergerilya
mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus komunikasi dan informasi
mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang.
Majalah, buku, dan film pornografi yang memaparkan
kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang
dan risiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap
"pelajaran" seks dari internet. Hasilnya, remaja yang beberapa
generasi lalu masih malu-malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks di usia
dini, 13-15 tahun!
Memang hasil penelitian di beberapa daerah menunjukkan
bahwa seks pra-nikah belum terlampau banyak dilakukan. Di Jatim, Jateng, Jabar
dan Lampung: 0,4 - 5% Di Surabaya: 2,3% Di Jawa Barat: perkotaan 1,3% dan
pedesaan 1,4%. Di Bali: perkotaan 4,4.% dan pedesaan 0%.
Tetapi beberapa penelitian lain menemukan jumlah yang
jauh lebih fantastis, 21-30% remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung,
Jakarta, Yogyakarta telah melakukan hubungan seks pra-nikah. Beberapa dari
siswa mengungkapkan, dia melakukan hubungan seks tersebut berdasarkan suka dan
tanpa paksaan.
Mana yang lebih akurat? Beberapa pakar berpendapat
bahwa angka yang diperoleh melalui penelitian itu hanyalah puncak dari sebuah
gunung es, yang kakinya masih terbenam dalam samudera.
Biaya Sosial
Kelalaian untuk menanggapi kebutuhan remaja (dan
sejujurnya, masyarakat luas) akan informasi tentang kesehatan reproduksi dan
seks yang bertanggung jawab ternyata berbuah pahit. Begitu populernya perilaku
berisiko, begitu banyak korban berjatuhan, begitu tinggi biaya sosial yang
harus kita bayar.
Percaya atau tidak, angka statistik pernikahan dini
--dengan pengantin berumur di bawah 16 tahun-- secara nasional mencapai lebih
dari seperempat. Bahkan di beberapa daerah sepertiga, dari pernikahan yang
terjadi, tepatnya di Jawa Timur 39,43%; Kalimantan Selatan 35,48%; Jambi
30,63%; Jawa Barat 36% . Di banyak daerah pedesaan, pernikahan seringkali
dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama. Padahal
pernikahan dini berarti mendorong remaja untuk menerabas alur tugas
perkembangannya, menjalani peran sebagai dewasa tanpa memikirkan kesiapan
fisik, mental dan sosial si pengantin.
Di sebuah daerah, 36% penderita penyakit menular
seksual adalah pelajar. Mengejutkan memang, tetapi dapat dipahami karena dalam
sebuah survei ditemukan hanya 27% remaja Indonesia yang tahu kegunaan kondom,
artinya kurang lebih 27% pula yang tahu bahwa kondom dapat mengurangi risiko
tertular penyakit seksual. Dari jumlah itu, 1% pernah memakai, 10% mungkin akan
membeli bila perlu, sedangkan 12% menyatakan tidak tahu .
Dari 14.628 kasus HIV/AIDS, 242 kasus di antaranya
adalah anak muda berusia 15-19 tahun (98 kasus karena penggunaan narkoba
suntik),4.884 kasus terjadi pada remaja 20-29 tahun (3.089 kasus karena
penggunaan narkoba suntik ). Ini artinya, 1 dari 2 penderita HIV/AIDS adalah
remaja berusia 15-29 tahun.
Jumlah ini masih dapat berlipatganda dan nyatanya
banyak remaja memiliki informasi yang salah tentang HIV/AIDS. Hasil survei
UNICEF menunjukkan bahwa 20% dari responden remaja yakin bahwa Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) pasti terlihat sangat sakit, 7% mengenali ODHA dari bercak di
kulitnya, 4% dari wajah yang pucat pasi, dan 41% mengaku tidak tahu bagaimana
mengenali ODHA. Hanya 12% yang percaya pada hasil tes darah.
Nasib Remaja Putri
Nilai-nilai patriarkhis yang berurat akar di
masyarakat kita telah meletakkan remaja putri jauh di luar jarak pandang kita
dalam kesehatan reproduksi. Undang-undang no. 20/ 1992 mentabukan pula
pemberian layanan KB untuk remaja putri yang belum menikah.
Bahkan mitos pun memojokkan remaja putri, untuk
membujuk-paksa mereka supaya bersedia berhubungan seks secara
"suka-sama-suka", bahwa hubungan seks yang hanya dilakukan sekali
takkan menyebabkan kehamilan. Berbagai metode kontrasepsi "fiktif"
juga beredar luas di kalangan remaja: basuh vagina dengan minuman berkarbonasi,
lari-lari di tempat atau squat-jump segera setelah berhubungan seks.
Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan,
lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggung jawab. Memilih untuk menjalani
kehamilan dini seperti dilakukan 9,5% remaja di bawah 20 tahun , dengan risiko
kemungkinan kematian ibu pada saat melahirkan 28% lebih tinggi dibanding yang
berusia 20 tahun ke atas , disertai kegamangan karena tak siap menghadapi peran
baru sebagai ibu. Atau menjalani pilihan lain yang tersedia: aborsi!
Ketakutan akan hukuman dari masyarakat dan terlebih
lagi tidak diperbolehkannya remaja putri belum menikah menerima layanan
keluarga berencana memaksa mereka untuk melakukan aborsi, yang sebagian besar
dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa mempedulikan standar medis. Data WHO
menyebutkan bahwa 15-50 persen kematian ibu disebabkan karena pengguguran
kandungan yang tiudak aman. Bahkan Departemen Kesehatan RI mencatat bahwa
setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja atau 30 persen dari
total 2 juta kasus di mana sebgaian besar dilakukan oleh dukun.
Dari penelitian yang dilaukan PKBI tahun 2005 di 9
kota mengenai aborsi dengan 37.685 responden, 27 persen dilakukan oleh klien
yang belum menikah dan biasanya sudah mengupayakan aborsi terlebih dahulu
secara sendiri dengan meminum jamu khusus. Sementara 21,8 persen dilakukan oleh
klien dengan kehamilan lanjut dan tidak dapat dilayani permintaan aborsinya.
Pengetahuan Seks
Menyedihkan, kekukuhan kita untuk terus mengingkari
kenyataan bahwa remaja butuh pengetahuan tentang seks dan kesehatan reproduksi
yang benar, telah menjerumuskan mereka membentuk keluarga tak berkualitas:
bapak-ibu belia yang tak siap fisik-psikisnya untuk menjadi orangtua, ibu tanpa
suami, juga anak-anak yang ditinggal mati ibunya saat melahirkan.
Padahal memberikan informasi tentang kesehatan
reproduksi tidak serta-merta memberikan pula kesempatan untuk melakukan seks
bebas. Pengalaman menunjukkan, di banyak negara yang telah memberlakukan
pendidikan kesehatan reproduksi remaja, yang terjadi kemudian bukanlah
promiskuitas atau seks bebas di kalangan remaja seperti yang selalu
dikuatirkan, tetapi sebaliknya pendidikan kesehatan reproduksi justru membuat
remaja menunda keaktifan seksualnya.
Meski perdebatan belum surut, akhirnya Pemerintah
Republik Indonesia pun memaklumkan pentingnya kesehatan reproduksi remaja. Ini
sudah tertuang dalam Propenas 2001. Betapa melegakan, Indonesia akhirnya menapak
maju mengejar ketertinggalannya dibanding negara lain, setidaknya dengan
mengawali upaya untuk memberikan informasi yang benar dan akurat tentang
kesehatan reproduksi remaja.
Tetapi untuk mengejar ketertinggalan dari masalah yang
terus berlipatganda bagai deret ukur dibutuhkan lebih dari sekedar pencanangan
pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja.
Begitu banyak hal terkait yang bisa dilakukan melalui
kerja sama antara pemerintah dengan berbagai pihak antara lain:
Mengkaji ulang dan membuka peluang perubahan aturan,
hukum dan perundangan; seperti Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yang memberikan
celah bagi terjadinya pernikahan dini, dan Undang-undang nomor 20 tahun 1992
yang mengganjal layanan kesehatan reproduksi untuk remaja putri yang belum
menikah, serta seluruh aturan dan kebijakan yang dibuat berlandaskan
undang-undang tersebut.
Mengembangkan kebijakan dan program berdasar paradigma
baru yang lebih peka gender dan "ramah" pada remaja dengan
menempatkan remaja sebagai subjek aktif yang patut didengar, dilibatkan, dan
dengan demikian turut bertanggung jawab atas kepentingan mereka sendiri.
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja, termasuk di
dalamnya informasi tentang keluarga berencana dan hubungan antargender,
diberikan tak hanya untuk remaja melalui sekolah dan media lain, tetapi juga
untuk keluarga dan masyarakat.
Rumusan baru 'kejantanan' yang lebih menekankan
tanggung jawab dan saling menghormati dalam relasi antargender perlu pula
dipopulerkan di antara remaja putra. Program pelayanan kesehatan reproduksi
remaja harus mulai dipikirkan, dengan penyedia layanan yang 'ramah remaja':
menjaga kerahasiaan, tidak menghakimi, peka pada persoalan remaja.
Meneruskan upaya meretas hambatan sosial budaya dan
agama dalam persoalan reproduksi dan seksualitas remaja, melibatkan kelompok
masyarakat yang lebih luas, seperti ulama-rohaniwan, petinggi adat untuk
menilai, merencanakan dan melaksanakan program yang paling tepat untuk
kesehatan reproduksi remaja, termasuk juga mendorong keterbukaan dan komunikasi
dalam keluarga.
Apa pun yang dirancang dengan baik takkan berjalan
sempurna tanpa kerja yang sungguh-sungguh untuk mendengar remaja kita, berupaya
memenuhi kebutuhan psikologisnya, memuaskan rasa ingin tahunya, sembari
mengajari mereka menjalani kehidupan dengan bertanggung jawab.
innalillah
BalasHapus